PORTALBERITALAMPUNG.COM – Gempuran kemajuan teknologi dan revolusi digital membawa dampak signifikan terhadap minat baca anak-anak, menciptakan situasi darurat literasi yang kian mengkhawatirkan.
Data terbaru Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) di Provinsi Lampung menunjukkan angka yang masih tergolong rendah, stagnan pada 59.99 pada tahun 2022, di bawah rata-rata nasional yang mencapai 64.48.
Realitas ini menjadi pendorong bagi munculnya Jendela Lampung, sebuah komunitas yang terdiri dari para relawan dengan tekad kuat untuk meningkatkan minat baca anak-anak, terutama yang berasal dari kelompok marjinal di Lampung.
Namun, upaya mereka tidak terlepas dari tantangan. Sebelumnya, relawan Jendela Lampung menghadapi penolakan dari orang tua yang enggan mengizinkan anak-anak mereka terlibat dalam kegiatan belajar membaca.
Berdiri sejak tahun 2014, Jendela Lampung berfokus pada pendirian taman baca di sekitar Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bakung. Lokasi ini dipilih karena tingkat minat baca anak-anak di daerah tersebut tergolong rendah, bahkan sebagian di antaranya tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis saat pertama kali dijumpai.
Asta Yuliantara, Koordinator Program Jendela Lampung, menjelaskan, “Kami menyadari tingkat literasi di Indonesia, khususnya di Lampung, terutama di daerah-daerah terpinggirkan, cenderung rendah. Kami berupaya meningkatkan minat baca anak-anak, yang awalnya hanya terdiri dari tujuh orang.”
TPA Bakung menjadi fokus utama Jendela Lampung, karena anak-anak di wilayah tersebut memerlukan perhatian khusus. Meskipun dihadapkan pada tantangan, seperti anak-anak yang mencari nafkah dari sampah di TPA Bakung, Jendela Lampung berhasil memberikan pemahaman kepada orang tua tentang pentingnya pendidikan.
Hingga saat ini, puluhan hingga ratusan anak di wilayah TPA Bakung aktif mengikuti kegiatan rutin komunitas ini, dengan rentang usia mulai dari tiga tahun hingga kelas dua SMP. Meski telah mencapai pencapaian yang signifikan, Jendela Lampung masih menghadapi kekurangan relawan, terutama dalam mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti gangguan pendengaran.
“Tentu, setiap organisasi menghadapi kendala, baik itu dari internal maupun eksternal, dan kami dengan jujur mengakui masih mengalami kekurangan relawan.”
Selain itu, sejak berdiri, Jendela Lampung mengandalkan donasi buku dari pribadi. Saat ini, mereka telah mendapatkan donatur untuk buku-buku yang dibutuhkan anak-anak, sambil tetap membuka pintu donasi bagi mereka yang ingin berkontribusi dalam memperkaya perpustakaan komunitas ini.***