PORTALBERITALAMPUNG.COM, BANDAR LAMPUNG – Tim Pengawas Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) bersama jajaran Polda Lampung menindak enam lokasi tambang batuan yang beroperasi di kawasan Kecamatan Sukabumi, Kota Bandar Lampung. Namun penindakan itu justru membuka tabir baru: praktik manipulatif dalam penerbitan dokumen perizinan dan dugaan kuat penyalahgunaan wewenang oleh aparat pemerintah yang berujung pada kerusakan lingkungan serius dan banjir di wilayah sekitarnya.
Aktivitas tambang ilegal selama bertahun-tahun terjadi di wilayah Kampung Campang Raya dan Kelurahan Way Laga. Dari enam titik yang disegel, hanya satu lokasi milik PT Membangun Sarana Bangsa yang tercatat pernah memiliki Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Namun, izin tersebut sudah tidak berlaku sejak 2022. Sementara lima lokasi lainnya terbukti menjalankan aktivitas pertambangan tanpa mengantongi izin resmi.
Tim investigasi gabungan menyatakan bahwa seluruh tambang tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup, serta berada di zona yang secara hukum telah ditetapkan sebagai kawasan lindung imbuhan air tanah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), berdasarkan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kota Bandar Lampung Tahun 2021–2041.
Ironisnya, dari hasil penelusuran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Lampung, beberapa areal tambang justru memiliki dokumen Izin Lingkungan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung. Izin tersebut terbit pada tahun 2021 dan tercatat bukan untuk aktivitas pertambangan, melainkan untuk pembangunan lahan parkir alat berat maupun usaha perumahan.
“Izin mereka beragam, ada yang mengajukan untuk kegiatan usaha perumahan atau pembangunan fasilitas parkir alat berat. Tapi faktanya, yang dilakukan di lapangan adalah pengerukan bukit secara masif,” kata Yulia Mustikasari, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKLH) DLH Provinsi Lampung, Selasa (7/5).
DLH Provinsi memastikan, selain menyalahi izin, aktivitas tersebut telah berdampak langsung terhadap perubahan bentang alam dan rusaknya ekosistem setempat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa bukit yang sebelumnya menjadi daerah resapan air kini gundul dan berubah menjadi jalur air hujan yang deras saat musim penghujan tiba.
“Hal ini sangat memperparah risiko banjir di daerah sekitarnya, khususnya di Sukabumi. Kami menduga kuat aktivitas tambang ilegal ini menjadi salah satu penyebab utama banjir yang terjadi belakangan ini,” ujar Yulia.
Dugaan pelanggaran makin menguat setelah diketahui bahwa sejumlah izin lingkungan tersebut terbit secara otomatis melalui sistem OSS (Online Single Submission). Bahkan, beberapa pelaku usaha tidak melampirkan dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan), yang seharusnya menjadi syarat wajib dalam proses pengajuan izin kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
“Yang mengarahkan bikin izin seperti itu ya DLH Kota sendiri,” kata Endel, salah satu pengelola tambang ilegal yang kini telah ditindak oleh aparat, saat ditemui di lokasi tambang di Jalan Alimudin Umar.
Menurut Endel, dirinya hanya mengikuti arahan petugas terkait dalam mengurus izin usaha. Ia mengklaim tidak mengetahui bahwa lokasi yang digunakan merupakan kawasan lindung. “Kami hanya ingin kerja, kami pikir ini sah karena ada izinnya,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bandar Lampung, Muhtadi A. Tumenggung, mengakui bahwa izin lokasi di kawasan tersebut memang sempat diterbitkan. Namun, ia menyebut bahwa banyak izin yang keluar tanpa validasi komitmen dari pelaku usaha, terutama yang diajukan melalui OSS.
“Kami hanya memproses berdasarkan permohonan yang masuk. Validasi teknis seharusnya dilakukan oleh OPD teknis seperti DLH atau Dinas PU,” kata Muhtadi, mencoba menjelaskan prosedur.
Kasus ini menuai sorotan luas, termasuk dari kalangan ahli hukum lingkungan. Pengamat hukum lingkungan dari Universitas Lampung, Arif Hidayatullah, SH, MH, menilai unsur pidana lingkungan dalam kasus ini sangat kuat, terutama karena telah terbukti ada dampak nyata berupa bencana dan kerusakan ekosistem.
“Pasal 99 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah cukup untuk menjerat pelaku. Aktivitas yang dilakukan terbukti tidak memiliki izin sah dan menimbulkan kerusakan lingkungan serta bencana,” tegas Arif.
Ia menambahkan, pejabat pemerintah yang terlibat dalam penerbitan izin tanpa melalui prosedur yang sah juga bisa dijerat pidana. “Pasal 111 mengatur jelas, pejabat yang memberikan izin tanpa dokumen lingkungan dapat dipidana hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar,” jelasnya.
Arif mendesak agar aparat penegak hukum tidak hanya berhenti pada penutupan tambang, tetapi juga menyelidiki rantai birokrasi yang terlibat dalam praktik penerbitan izin bermasalah ini.
Lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Lampung juga mendorong agar kejadian ini menjadi pintu masuk untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan di tingkat daerah. Mereka menilai bahwa sistem OSS yang seharusnya mempermudah investasi, telah menjadi celah penyalahgunaan jika tidak diawasi ketat.
“Kami berharap ada transparansi dalam investigasi ini, dan pejabat yang terbukti melanggar aturan ditindak tegas,” kata Koordinator Walhi Lampung, Rika Purnamasari, dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa kawasan lindung tidak boleh dikompromikan, apalagi untuk kepentingan usaha tambang yang jelas-jelas merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.