PORTALBERITALAMPUNG.COM (SMSI) – Banjir di Bandar Lampung sudah seperti acara tahunan—datang rutin, merusak banyak, dan selalu tanpa solusi nyata. Setiap kali langit mendung dan hujan mengguyur deras, warga tak lagi bertanya “apakah akan banjir?”, tapi “berapa tinggi air kali ini?”
Namun, di tengah genangan air dan jeritan warga yang kehilangan rumah, pemimpinnya justru seperti punya agenda sendiri: mencari siapa yang bisa disalahkan, bukan mencari jalan keluar.
Dinasti yang Tak Menyelesaikan Masalah
Sudah lebih dari satu dekade Bandar Lampung berada di bawah kendali satu keluarga. Dari Herman HN, kini ke Eva Dwiana. Tapi selama lebih dari 15 tahun kepemimpinan itu, satu hal tetap tak berubah: banjir terus datang, makin parah, dan makin memalukan.
Jika 15 tahun tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan air, maka publik berhak bertanya: apakah selama ini kota ini benar-benar dipimpin?
RTH Cuma Jadi Wacana, Drainase Seperti Hiasan
Bandar Lampung hanya memiliki sekitar 5% Ruang Terbuka Hijau (RTH), jauh dari batas minimal 30% seperti yang diwajibkan undang-undang. Alih-alih menambah kawasan hijau, yang tumbuh subur justru proyek bangunan dan perizinan yang seenaknya.
Sementara itu, saluran drainase sebagian besar tersumbat atau bahkan tertutup oleh beton. Air pun tak punya pilihan lain selain masuk ke rumah-rumah warga.
Saat Air Naik, Pemimpin Hilang
Yang lebih menyakitkan bagi warga adalah sikap lambat dan dingin dari pemerintah kota. Dalam banyak kejadian, bantuan datang telat, koordinasi kacau, dan Wali Kota baru muncul setelah banjir surut.
Yang muncul lebih dulu biasanya pernyataan menyalahkan pihak lain: “Itu karena proyek pusat”, “warga buang sampah sembarangan”, atau “Pelindo II harus bertanggung jawab.”
Padahal, saat kampanye, semua masalah ini seolah bisa diatasi. Tapi saat sudah menjabat, semua urusan dilempar ke pihak lain. Cuci tangan jadi lebih cepat dari tanggap darurat.
Memimpin Bukan Sekadar Foto dan Panggung
Kepemimpinan bukan tentang hadir saat acara seremonial, lalu hilang saat bencana datang. Wali Kota seharusnya jadi orang pertama yang turun ke lokasi, bukan terakhir muncul setelah tekanan publik memuncak.
Dalam buku Good to Great, Jim Collins menulis tentang pemimpin sejati yang bertanggung jawab penuh atas kegagalan. Bukan pemimpin yang berlindung di balik meja, tapi yang berani berdiri di depan saat badai datang.
Sayangnya, di Bandar Lampung, yang terlihat justru sebaliknya: seorang pemimpin yang terlalu sibuk mengatur narasi, tapi lupa mengatur kota.
Warga Tidak Butuh Panggung, Tapi Perlindungan
Bandar Lampung butuh pemimpin yang berani bilang, “Ini tanggung jawab saya, dan saya akan perbaiki.” Bukan yang muncul di media untuk membela diri.
Karena banjir bukan hanya soal air—ini soal kepemimpinan, soal akuntabilitas, soal nyawa dan masa depan warga.
Berhenti Menyalahkan, Mulai Bertanggung Jawab
Banjir akan terus datang jika kota ini tidak berubah. Tapi yang lebih parah dari banjir air adalah banjir alasan dari pemimpin yang enggan bekerja. Jika terus seperti ini, bukan hanya kota yang tenggelam—kepercayaan publik juga ikut karam.(Bal)